SURABAYA – Kehadiran novel Aib dan Nasib karya Minanto sebagai Pemenang Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta Tahun 2019 membawa angin segar dalam khazanah kesusastraan Indonesia. Pasalnya, novel tersebut berhasil menyuguhkan berbagai persoalan warga Desa Tegalurung di Jawa Barat dengan sajian fragmen-fragmen episodik yang eksklusif.
Beranjak dari hal itu, Kementerian Kastrat BEM FIB UNAIR bersama LPM Situs menggelar webinar bedah buku bertajuk Ritme Api Pergerakan dalam Aib dan Nasib karya Minanto bersama dosen program studi Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Airlangga (UNAIR) Bramantio SS M Hum pada Kamis (20/10/2022) di Ruang Siti Parwati, FIB UNAIR. Pada kesempatan itu, Bramantio menyampaikan empat hal penting di antaranya sebagai berikut.
Kecakapan Berbahasa Indonesia
Pertama, ia menyampaikan, penggunaan bahasa Indonesia dalam sebuah karya sastra Indonesia sangatlah penting. Hal tersebut karena bahasa Indonesia bukan hanya digunakan sebagai media penulisan, tetapi juga sebagai bukti kefasihan dalam mengekspresikan gagasan dalam sebuah tulisan.
Baca juga:
Bappenas Apresiasi SDGs Center UNAIR
|
Dengan kata lain, penggunaan bahasa Indonesia menjadi tolok ukur seorang pengarang dapat merancang kalimat dengan jernih dan efektif. Oleh karena itu, mustahil apabila seorang pengarang yang tidak memiliki kepiawaian bahasa Indonesia dapat menciptakan novel yang cemerlang.
“Ada kalanya memprihatinkan bahwa kawan-kawan yang mengirimkan karya ternyata belum selesai dalam masalah ejaan. Saya harap, kawan-kawan sebagai bagian dari FIB, khususnya yang berbicara banyak tentang kebahasaan untuk menekuni bahasa dengan sebaik-baiknya, ” ungkapnya.
Pengarang Sastrawi
Kedua, ia melanjutkan, kecemerlangan sebuah novel juga dapat ditentukan oleh kepiawaian pengarang dalam menulis karya sastra. Artinya, seorang pengarang akan mempertaruhkan seluruh pengetahuan dan kecakapan sastrawinya untuk menata unsur-unsur intrinsik sebuah novel. Tidak hanya itu, seorang pengarang juga dapat diukur dari pemilihan kata dan kalimat.
“Teks ini (novel Aib dan Nasib, Red) secara keseluruhan dinyatakan paling bersih dari seluruh karya yang dilombakan pada saat itu, ” ucapnya.
Kebaruan
Ketiga yaitu kebaruan. Penulis kumpulan cerpen Equilibrium itu berkata, tanpa adanya hasrat kebaruan. Sebuah novel hanya akan terjerumus dalam semenjana dan karya sastra yang itu-itu saja. Oleh sebab itu, gelora kebaruan akan mendorong pengarang untuk menciptakan sebuah karya yang menyegarkan dan memperbarui dunia kesusastraan.
Keselarasan Bentuk dan Isi
Keempat, ia menjelaskan, menulis novel bukanlah perkara menyatakan pokok bahasan, melainkan juga perkara bagaimana mewujudkan semua hal dalam novel melalui kecakapan sastrawi berdasarkan bangun cerita dalam keselarasan yang ideal.
“Aib dan Nasib nomor 128 dari 200-an, naskah yang bercerita tentang kehidupan sejumlah warga desa Tegalurung di wilayah Jawa Barat. Naskah ini adalah salah satu dari segelintir yang punya gaya eksperimen dengan fragmen-fragmen episodik yang ketat, berlapis-lapis, dan susun - menyusun, ” jelasnya.
Lebih lanjut, Bramantio menambahkan, novel Aib dan Nasib ditulis dengan bahasa yang rapi serta humor khas daerah, hampir tidak ada frasa dan kalimat yang goyah.
“Kita tidak akan bicara soal sejauh mana teks ini memperbarui khazanah sastra Indonesia. Novel ini secara alur, tidak ada yang baru karena menggunakan model yang sering muncul dalam novel lain. Saya pikir, sebagai pembaca saya mau tidak mau berkali-kali bertanya-tanya tentang alur. Hal demikian bukan tanpa alasan, karena banyak karya sastra yang bersifat fragmentasi, ” pungkasnya.
Penulis: Rafli Noer Khairam
Editor: Khefti Al Mawalia