SURABAYA – Pemerintah resmi meneken aturan tentang penyesuaian pengaturan di bidang pajak penghasilan yang tertuang pada Peraturan Pemerintah (PP) No. 55 Tahun 2022. PP ini merupakan aturan turunan dari UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang disahkan pada Oktober tahun lalu.
Dalam aturan tersebut, pemerintah menaikan Penghasilan Kena Pajak (PKP) menjadi kumulatif Rp 60 juta per tahun akan dikenakan tarif 5 persen. Sebelumnya, tarif 5 persen dikenakan untuk PKP dengan kumulatif Rp 50 juta per tahun.
Sementara itu, Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) tidak berubah yakti sebesar Rp 54 juta per tahun. Ini merupakan sinyal baik, karena jika sebelumnya penghasilan hanya Rp 50 juta sudah kena pajak maka kini dinaikkan menjadi Rp 60 juta.
Ekonom Universitas Airlangga (UNAIR), Drs Djoko Dewantoro SE MSi Ak CA. (Foto Istimewa).
Ekonom Universitas Airlangga (UNAIR), Drs Djoko Dewantoro SE MSi Ak CA, menyambut baik regulasi tersebut. Menurutnya, aturan tersebut sangat masuk akal. Jika sebelumnya tarif PTKP berada di atas tarif PK, kini tarif PKP di atas tarif PTKP, " ujarnya, Rabu (4/1)
“Jadi ini bentuk perbaikan undang-undang. Tapi di satu pihak, cerdiknya pemerintah adalah dia menaikan kesejahteraan itu tidak dengan menambah gaji tetapi dengan take home pay-nya (yang diterima pekerja, red) menjadi lebih tinggi karena lapisan pajaknya dinaikkan, ” paparnya.
Tarif Progresif
Selain itu, pemerintah juga menaikan PPh menjadi 35 persen yang sebelumnya 30 persen bagi masyarakat berpenghasilan diatas 5 Miliar. Bagi Djoko, hal tersebut sangatlah wajar dengan mekanisme tarif progresif yang diterapkan pemerintah.
“Itu logis, artinya itu konsekuensi atas suatu sistem. Yang rendah kena rendah, kemudian lapisan yang diatas 5 Miliar kena 35 persen, itu nambah, ” ujarnya.
Edukasi Pajak
Namun, ia sangat menyayangkan masih banyaknya berita bohong mengenai aturan tersebut. Padahal, kebijakan pajak terbaru akan menguntungkan pekerja. Dengan regulasi terbaru, maka, pekerja dengan gaji 5 juta per bulan hanya akan membayar pajak sebesar 25 ribu per bulan.
“Istilahnya itu jangan gaji, yang dipotong pajak itu hanya Penghasilan Kena Pajak (PKP), itu pedomannya. Masyarakat harus ngerti, gaji tidak sama dengan Penghasilan Kena Pajak, ” tambah Wakil Ketua VII IAI Wilayah Jawa Timur Bidang Akuntan Pajak tersebut.
Dirinya berharap, ke depan, edukasi tentang perpajakan semakin digencarkan. Karena semakin abainya masyarakat tentang pajak, disitulah akan banyak hoaks yang terjadi. Disisi lain, pemerintah pun harus jujur ketika ada kelebihan bayar, harus segera dikembalikan tanpa dipersulit karena itu hak masyarakat.
“Kalau kita cinta negara, kita tidak boleh nggak tahu (tentang pajak, red). Sebaliknya, pemerintah hendaknya undang-undang perpajakan itu dibuat semudah mungkin, ” tutupnya. (*)
Penulis: Afrizal Naufal Ghani
Editor: Nuri Hermawan